BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Moralitas bantuan merupakan bantuan yang mempunyai batasan-batasan sifat
atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk dari konselor kepada klien
dalam menyelesaikan suatu problema. Moralitas bantuan dapat diberikan oleh
konselor dengan memperhatikan aspek keyakinan agama dalam konseling, temperamen
dan karakter, dan keyakinan agama dalam struktur kepribadian. Apabila aspek
tersebut tidak diperhatikan dengan baik maka proses konseling tidak akan
berjalan dengan baik bahkan dapat menimbulkan kerugian.
Dalam keyakinan agama dalam konseling, konselor tidak boleh memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamannya kepada
pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang konselor tidak
mudah untuk memafaatkan berinteraksi dengan klien. Pada aspek temperamen dan
karakter, konselor benar-benar harus mengetahui temperamen dan karakter klien
karena temperamen dan karakter seseorang berbeda-beda sehingga dalam pemberian
bantuanpun harus berdasarkan temperamen dan karakter masing-masing. Sedangkan
dalam aspek keyakinan agama dalam struktur kepribadian, konselor harus
mengetahui apakah klien sudah menggunakan struktur kepribadian tersebut.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan moralitas bantuan?
2. Apa saja bagian
dari moralitas bantuan?
3. Tujuan
1. Mendiskripsikan pengertian moralitas bantuan.
2. Dapat mengetahui, memahami, dan menjelaskan
bagian dari moralitas bantuan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Moralitas Bantuan
Istilah
moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan,
adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang
umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar[1].
Perkembangan moral
berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus
dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika
dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi
yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi
dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar
memahami tentang perilaku mana yang baik.
Moralitas berarti ekspresi diri dalam konteks
yang terstruktur. Bagaimanapun, hal yang perlu ditekankan di sini ialah bahwa tanpa ekspresi diri
ini, tidak ada isi kehidupan moral. Dorongan rasa lapar dan seks yang bersifat
instintif, hasrat marah, membenci dan mencintai, keinginan untuk berteman dan
mencipta, serta semua dorongan lainnya melengkapi materi
pengisi moralitas. Tanpa dorongan-dorongan ini maka moralitas
tidak berarti, seperti
sebuah sungai yang kering tanpa air mengalir. Konselor
dalam memberikan pelayanan konseling kepada seseorang/sekelompok orang
perlu memberi kebebasan
guna menempuh sebuah
jalan hidup yang memungkinkan
mereka menjadi pribadi
yang utuh. Pribadi
seperti itu akan
diperlukan untuk menghindari
tekanan yang berlebihan
pada sukses finansial,
yang dapat menimbulkan
persaingan materi dan
sikap pamrih belaka,
berdampak hilangnya nilai
manusiawi pada suatu bidang studi,
yang pada akhirnya akan mengaburkan nilai-nilai
dan tujuan konseling yang telah direncanakan. Moral dan
etika dalam konseling
akan dapat diwujudkan
oleh konselor yang memiliki kompetensi.
2. Bagian Moralitas
Bantuan
Moralitas
bantuan terbagi menjadi 3, sebagai berikut:
1. Keyakinan Agama
Dalam Konseling
Landasan religius bahwasannya
seorang konselor harus mempunyai pemahaman agama, nilai-nilai agama yang kuat,
agar dalam memberikan konseling pada kliennya harus didasarkan pada pemahaman
agama yang dianutnya.
Pada dasarnya seorang konselor
dalam memberikan bantuan dituntut dapat mengetahui nilai agama, namun konselor perlu
menyadari bahwa peranannya tidak sama dengan petugas keagamaan yang
berkewajiban memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamannya kepada pihak lain
dan sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang konselor tidak mudah untuk
memafaatkan berinteraksi dengan klien.[2]
Patterson mengemukakan bahwa
nilai-nilai konselor sebenarnya mempengaruhi proses konseling, hanya saja
tercermin dalam etika hubungan, tujuan, dan metode yang digunakan dalam konseling.
Jadi keseluruhan proses konseling itu pada prinsipnya, mencerminkan nilai dan
keyakinan konselor (George & Cristiani, 1990).
Dengan demikian keterlibatan
agama, nilai, dan keyakinan konselor dalam konseling dapat dibenarkan secara
teoritik, tetapi dalam pelaksanaannya harus melihat etika profesional yang
memberi tuntutan cara kerja konselor sekaligus melindungi hak-hak pribadi
klien.[3]
2. Temperamen Dan
Karakter
Dalam bukunnya Diane
E Papalia, dkk menyatakan
bahwasannya Tempramen yaitu sebagai karakteristik
seseorang cara biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan
situasi.[4]
Jadi bahwasanya karakter seseorang itu tidak semuanya bersifat negatif, bahwasannya temprament itu dilakukan sesuai
situasi.
Selain itu temperamen terkadang didefinisikan
sebagai karakteristik seseorang, cara mendasar biologis untuk mendekati dan
bereaksi terhadap orang dan situasi. Telah dideskripsikan sebagai bagaimananya
perilaku; bukan apa yang dilakukan, tapi bagaimana mereka akan melakukan hal
tersebut (Thomas dan chess, 1977). Seperti contoh adanya dua anak balita yang
sama-sama bisa melakukan pekerjaan memakai pakaian sendiri, namun biasanya
salah satu dari mereka ada yang dapat melakukan hal tersebut dengan cepat dari
yang yang lainnya. Beberapa peneliti memandang temperamen secara lebih luas.
Seorang anak tidak sama dalm bertingkah laku di berbagai situasi. Temperamen
bukan hanya mempengaruhi bagaimana pendekatan reaksi anak terhadap dunia luar,
tetapi juga bagaimana mereka mengatur fungsi mental, emosional, dan perilaku
mereka sendiri (Rothbart, Ahadi, dan Evans, 2000).
Temperamen memiliki dimensi emosional tapi
berbeda dengan emosi seperti rasa takut, tertarik, dan bosan, tempramen relatif
konsisten dan menetap.[5] Temperamen terbagi 4
jenis, yaitu:
1. Sanguinis
Ditandai dengan sifat: hangat, meluap-luap, lincah, bersemangat dan pribadi
yang “menyenangkan.” Pada dasarnya mau menerima. Pengaruh/kejadian luar dengan
gampang masuk ke pikiran dan perasaan, yang membangkitkan respons yang
meledak-ledak. Perasaan lebih berperan dari pada pikiran refleksif dalam
membentuk keputusan. Orang sanguinis sangat ramah kepada orang lain, sehingga
dia biasanya dianggap seorang yang sangat ekstrovert.
2. Koleris
Seorang choleris tampil hangat, serba cepat, aktif, praktis,
berkemauan keras, sanggup mencukupi keperluannya sendiri, dan sangat
independen. Dia cenderung tegas dan berpendirian keras, dengan gampang
dapat membuat keputusan bagi dirinya dan bagi orang lain. Seperti
seorang sanguinis, seorang choleris adalah seorang ekstrovert,
walau tidak seekstrovertnya seorang sanguinis. Seorang choleris hidup
dengan aktif. Dia tidak butuh digerakkan dari luar, malah
mempengaruhi lingkungannya dengan gagasan-gagasannya, rencana, tujuan, dan
ambisiambisinya yang tak pernah surut.
3. Melankolis
Si melankolis adalah seorang yang paling “kaya” di antara semua
temperamen. Dia seorang analisis, suka berkorban, bertipe perfeksionis
dengan sifat emosi yang sangat sensitif. Tidak seorang pun yang dapat
menikmati keindahan karya seni melebihi seorang melankolis. Sebenarnya dia mudah menjadi introvert, tetapi ketika perasaannya lebih dominan, dia masuk ke dalam bermacam-macam keadaan jiwa. Kadang-kadang
mengangkatnya pada kegembiraan yang tinggi yang membuatnya bertindak lebih
ekstrovert. Akan tetapi pada saat lain dia akan murung dan
depressi, dan selama periode ini dia menarik diri (withdrawn), dan
bisa menjadi seorang yang begitu antagonistis (bersifat bermusuhan).
4. Phlegmatis
Si phlegmatis adalah seorang yang hidupnya
tenang, gampangan, tak pernah merasa terganggu dengan suatu titik didih yang
sedemikian tinggi sehingga dia hampir tak pernah marah. Dia adalah seorang
dengan tipe yang mudah bergaul, dan paling menyenangkan di antara semua
temperamen. Phlegmatis berkaitan dengan apa yang dipikirkan oleh Hippocrates
mengenai cairan dalam badan yang menghasilkan yang “tenang,” “dingin”, “pelan”,
temperamen yang memiliki keseimbangan yang baik. Baginya hidup adalah suatu
kegembiraan, dan kadang menjauh dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Dia
begitu tenang dan agak diam, sehingga tak pernah kelihatan terhasut, bagaimana
pun keadaan sekitarnya.
Selanjutnya
mengenai karakteristik, Prof. Dr. Muchlas Samani dalam bukunya menjelaskan bahwa
karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas setiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa, dan negara[6]. Individu
yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap
mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat
dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa,
diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, prasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah
perilaku
yang tampak dalam kehidupan sehari hari baik dalam bersikap maupun dalam
bertindak. Warsono dkk. (2010) mengutip Jack
Corley dan Thomas Philip (2000): menyatakan “karakter merupakan sikap dan
kebiasaan seseorang yang memungkinkan mempermudah tindakan moral”.
3. Keyakinan Agama
Dalam Struktur Kepribadian
Dinyatakan
bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang terdiri dari dua dimensi, yaitu
dimensi jasmani dan dimensi rohani. Kedua
dimensi yang dimiliki manusia mendapatkan perhatian yang sama. Segi jasmani
memiliki tuntutan-tuntutan sendiri yang perlu dipenuhi. Demikian
halnya dengan dimensi rohani juga memiliki
tuntutan tersendiri yang juga harus dipenuhi agar manusia dapat hidup dengan
baik dan selamat di dunia dan akhiratnya[7].
Pada
hal tersebut bahwasannya kepribadian seseorang membutuhkan suatu keyakinan
dalam beragama. Oleh sebab itu, seorang konselor mengarahkan kliennya yang
sedang mengalami masalah agar mereka kembali pada sang penciptanya, agar mereka
tidak terjerumus pada hal yang tidak diinginkan. Namun konselor perlu menyadari bahwasannya peranannya tidak
sama dengan petugas keagamaan yang berkewajiban memberikan keyakinan dan
nilai-nilai keagamaannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya.
Karena itu seorang konselor tidak mudah untuk memanfaatkan berinteraksi dengan
klien.
Menurut Sigmund Freud bahwa
sistem kepribadian dibagi menjadi tiga yaitu:
Sistem kerja struktur kepribadian adalah: Pertama, Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil,
dimana ketika manusia itu dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia
merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya insting. Id
tidak memiliki organisasi, buta, dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan
kehendaknya. Seperti yang ditegaskan oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id
dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan proses primer. Kedua, Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas
yang ada di luar dirinya. Di sini ego berperan sebagai “eksekutif” yang
memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga prosesnya persis
seperti “polisi lalu lintas” yang
selalu mengontrol jalannya id, superego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai
penengah antara insting dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul
disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar
butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan
mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja ego. Sedangkan yang Ketiga, superego adalah yang memegang keadilan atau
sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah,
baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai
sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.[8]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Moralitas bantuan merupakan bantuan yang mempunyai batasan-batasan sifat
atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk dari konselor kepada klien
dalam menyelesaikan suatu problema. Moralitas bantuan terbagi menjadi 3 bagian
yaitu keyakinan agama dalam konseling maksudnya keyakinan agama yang dimiliki
oleh klien, konselor tidak boleh mengubah ataupun memberi keyakinan yang
dimiliki konselor; temperamen yaitu sebagai karakteristik seseorang cara biologis untuk mendekati dan
bereaksi terhadap orang dan situasi dan karakter maksudnya gejala karakteristik daripada sifat emosi individu
yang faktornya berasal dari keturunan
ataupun sebagai cara berfikir dan berprilaku yang khas
setiap individu untuk hidup dan berkerjasama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Didalam temperamen manusia atau sifat emosi individu dapat dibagi menjadi 4 yaitu sanguinis, koleris, melankolis, phlegmatis; keyakinan agama dalam struktur kepribadian yang terbagi menjadi 3 yaitu
id adalah keinginan atau dorongan naluriah yang sudah ada sejak lahir dan
tempat timbulnya insting; ego adalah yang mengendalikan, mengontrol atau
menjalankan id. Ia bertindak sebagai penengah antara insting dengan
dunia di sekelilingnya atau dunia nyata; super ego adalah
suatu sistem yang memiliki unsur moral dan keadilan.
Tujuan dari super ego adalah membawa individu kearah kesempurnaan sesuai dengan
pertimbangan keadilan dan moral, sehingga tahu benar-salah,
baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin. 2012. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali
Pers.
Latipun. 2003. Psikologi Konseling (Edisi
Ketiga). Malang: UMM Press.
Panuju, Panut
dan Ida Umami. 1999. Psikologi Remaja.
Yogyakarta:
PT Tiara Wacana.
Papalia, Diane E dkk. 2008. Human
Development. Jakarta: Kencana.
Prawira, Purwa Atmaja. 2013. Psikologi
Kepribadian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Samani, Muchlas. 2013. Pendidikan Karakter. bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar