BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupan manusia. Manusia sering mengatasi persoalan-persoalan yang silih berganti dalam kehidupannya. Persoalan yang satu dapat teratasi dan akan timbul persoalan yang lain. Maka dari itu, berdasarkan kenyataan yang dihadapi manusia tidaklah sama, ada yang sanggup mengatasi permasalahannya sendiri dan ada pula yang perlu bantuan orang lain dalam menyelesaikan masalahnya dan di sinilah peran konseling untuk manusia.
Konseling adalah
suatu proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh ahli kepada seseorang yang
disebut klien secara sistematis dan terencana untuk mengatasi masalah-masalah
kehidupan klien agar klien dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dan dapat
membuat suatu keputusan.
Di Indonesia, pengetahuan
tentang konseling sangat minim sehingga membuat pengetahuan masyarakat di
Indonesia seakan-akan buta tentang konseling tersebut. Padahal kegiatan
konseling amat membantu masyarakat yang mempunyai permasalahan. Terutama dalam
mengetahui sejarah perkembangan konseling di Indonesia, banyak konselor yang
belum mengetahui bagaimana perkembangan konseling di Indonesia. Apabila
seseorang yang melakukan konseling tidak mengetahui sejarah perkembangan
konseling itu sendiri maka akan sulit baginya untuk melakukan konseling itu
karena sejarah tersebut dapat dijadikan referensi atau tolak ukur.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perkembangan konseling di Indonesia ?
2.
Apa faktor pendukung perkembangan konseling di Indonesia
?
C. Tujuan
1.
Mendeskripsikan bagaimana perkembangan konseling di
Indonesia.
2.
Mendeskripsikan faktor pendukung perkembangan konseling
di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Perkembangan Konseling di Indonesia
Latar belakang kehadiran konseling yaitu sebagai
bentuk penanganan terhadap orang-orang yang mengalami gangguan psikologis,
dimulai sejak tahun 1986 yang dipelopori oleh Lightner Witmer dengan mendirikan
sebuah klinik psychological counseling
clinic di University of Pennsylvania (latipun 2001)[1].
Sebelum konseling
muncul di Indonesia bahwasannya para masyarakat telah mengetahui berbagai
sarana untuk memecahkan masalah mereka, namun mereka menggunakan cara yang
tradisional. Secara umum proses pemecahan masalah mereka masih dilakukan dengan
meminta bantuan para kyai, tokoh agama ataupun dukun. Namun perlahan-lahan pola
pikir masyarakat Indonesia berubah ketika konseling masuk ke Indonesia,
walaupun tidak semua masyarakat Indonesia menyelesaikan masalah dengan
menggunakan konseling. Berawal
dari yang dikemukakan Frank Parsons yang mendirikan Vocational
Bureau, tetap berjalan di Indonesia. Sebagai contoh, di Yogyakarta terdapat
Balai Pembinaan Administrasi (BPA) yang salah satu tugasnya memberikan Job-Training kepada; para
pegawai untuk meningkatkan efisiensi kerja.
Kegiatan bimbingan
dan konseling tersebut tersebar di Indonesia sekitar tahun 50-an, kegiatan itu
pertama kali diperkenalkan oleh Slamet Iman Santoso di Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.[2]
Setelah itu pada tahun 1960 konseling diperkenalkan di Indonesia melalui
pendidikan sekolah menengah, perkembangan selanjutnya mengarah ke pusat
rehabilitasi sosial, lembaga sosial dan industri.[3] Di
Indonesia pekerjaan konseling menunjukkan kemajuannya. Bimbingan dan konseling
sebagai suatu ilmu merupakan suatu hal yang masih baru, apalagi dilihat dari
konteks Indonesia, namun dengan demikian sebenarnya warga Indonesia membutuhkan
bimbingan dan konseling tersebut.
Dalam
perkembangan selanjutnya, adanya konversi FKIP seluruh Indonesia yang diselenggarakan
di Malang dari tanggal 20 sampai dengan 24 Agustus 1960, yang memutuskan bahwa
bimbingan dan penyuluhan dimasukkan dalam kurikulum FKIP.[4] Dengan ini menunjukkan bahwa adanya langkah yang lebih maju untuk
mengembangkan Bimbingan dan Penyuluhan di lingkungan sekolah, hal tersebut
dapat menambah kemajuan bimbingan dan konseling di sekolah.
Dengan
diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1994 dan
didirikannya beberapa kementrian pada waktu itu, hal ini menunjukkan adanya
usaha untuk menempatkan orang-orang yang ingin bekerja, pada prinsipnya sama
seperti Vocational Bureu yang didirikan oleh Frank Parsons, yakni
menempatkan orang pada suatu pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.[5]
Di awali dari dimasukkannya bimbingan dan konseling (dulunya bimbingan dan penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini
merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus
1960.
Perkembangan
berikutnya tahun 1964
IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun
1971 berdiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu
IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP
Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Manado. Melalui proyek ini Bimbingan dan
Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan
Bimbingan dan Penyuluhan” pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah
Menengah Atas di dalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA
Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan
Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan
guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru
Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA
Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal
diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menpan/1989 tentang Angka
Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Akan tetapi
pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung
misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan
mereka.
Sampai
tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya
lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan
BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah,
kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua
terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga
lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di
sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK
Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan
diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru
Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.
2.
Faktor Pendukung Perkembangan Konseling di Indonesia
Faktor-faktor pendorong perkembangan
konseling sekolah secara umum di Indonesia, sehingga maju cukup pesat:
1.
Pada diri
individu, yaitu adanya masa-masa kritis dalam tiap masa perkembangan individu,
terutama dalam masa remaja.
2.
Pada kondisi luar individu,
seperti kondisi teknologi yang berkembang pesat, kondisi nilai-nilai
demokratis, nilai-nilai humanities ersus nilai-nilai pragmatis khusus sosial-
komunikasi), nilai-nilai etika pergaulan, kondisi struktural dan kebidangan dalam pendidikan
dan lapangan kerja, dan kondisi-kondisi lain, antara lain: termasuk di antaranya proses transmigrasi dan
urbanisasi,
kehidupan masyarakat massa yang telah menjauhkan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antarmanusia dalam arti psikis
dan fisik.[6]
Faktor-faktor
pendukung lainnya khusus konseling di sekolah, adanya kebutuhan nyata dan
kebutuhan potensial para siswa pada beberapa jenjang pendidikan yaitu:
1.
Dalam
menghadapi saat-saat krisis yang dapat terjadi misalnya akibat kegagalan
sekolah, kegagalan pergaulan, dan penyalahgunaan
obat bius, oleh karena itu adanya tipe konseling krisis.
2.
Dalam
menghadapi kesulitan dan kemungkinan kesulitan pemahaman diri dan lingkungan
untuk arah diri dan dalam pengambilan keputusan dalam karir, akademik, sehingga diperlukan
adanya tipe konseling fasilitatif.
3.
Dalam
mencegah sedapat mungkin kesulitan yang dapat dihadapi dalam pergaulan sosial,
atau seksual, diperlukan adanya tipe konseling preventif.
4.
Dalam
menopang kelancaran perkembangan individual siswa seperti perkembangan
kemandirian, percaya diri, citra diri, perkembangan karir dan perkembangan
akademik, diperlukan adanya tipe konseling developmental.[7]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Setelah penulis
mendeskripsikan tentang rumusan di atas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwasanya konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh ahli
kepada seseorang yang disebut klien secara sistematis dan terencana untuk
mengatasi masalah-masalah kehidupan klien agar klien dapat menyesuaikan diri
terhadap lingkungannya dan dapat membuat suatu keputusan.
Konseling sendiri
berkembang di negara Indonesia pada tahun 50-an, kegiatan tersebut pertama kali
dibawa oleh Slamet Iman Santoso dari Universitas Indonesia. Pada dasarnya
konseling di Indonesia berkembang di kalangan sekolah menengah pada tahun
60-an, lalu selanjutnya berkembang ke kalangan rehabilitasi sosial, lembaga
sosial dan industri. Saat ini bimbingan dan konseling masih dikenal baru, namun
kegiatan tersebut akan terus berkembang karena masyarakat di Indonesia
membutuhkannya.
Di Indonesia
konseling cukup berkembang pesat, faktor-faktor yang mendukung perkembangan
konseling di Indonesia itu sendiri yaitu pada
diri individu dan pada
kondisi
luar individu.
2.
Saran
Kepada konselor diharapkan
mengetahui tentang sejarah perkembangan konseling di Indonesia karena untuk
referensi dalam menjalankan kegiatan konseling.
[1] Dr, Namora
Lumongga Lubis, M,Sc., Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan
Praktek, (Jakarta, Kencana 2011), hlm 3.
siapa author ni ?
BalasHapus