A.
Pelecehan terhadap Wanita
Bidang
kesehatan mental menyajikan berbagai contoh pelecehan dan eksploitasi terhadap
wanita.[1]
Ada lebih dari cukup bukti eksperimen dan pelecehan terhadap klien dan pasien
wanita. Penelitian berkenaan dengan persepsi kesehatan mental memandang wanita
secara umum sebagai makhluk yang lebih neurotik dan kurang sempurna dibanding
pria. Wanita adalah makhluk yang rawan terhadap pelecehan. Kodratnya sebagai
makhluk yang harus mendapat perlakuan khusus ini seharusnya dijaga dan dijunjung
tinggi kehormatannya sebagai wanita. Bukan sebaliknya, merendahkan dan
melecehkannya.
Usaha
bimbingan dan konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku, baik ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum/negara, norma
ilmu, maupun kebiasaan sehari-hari.[2]
Banyak norma yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu norma dalam
masyarakat, norma dalam hukum, norma dalam agama dll. Dalam proses konseling,
apa yang dijalankan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma tersebut.
Termasuk dalam memberi perlakuan terhadap wanita, dalam konseling harus
memperhatikan norma yang berlaku.
Seorang
konselor laki-laki harus menjaga klien wanitanya dari berbagai pelecehan, baik
dari pihak lain maupun dari dirinya sendiri. Seorang konselor pada umumnya dan
konselor laki-laki pada khususnya harus menjunjung tinggi kehormatan klien
wanitanya. Karena selain bertentangan dengan kode etik profesi, juga
bertentangan dengan moral sebagai masyarakatdan bertentangan juga dengan moral
agama Islam khususnya. Tidak dapat disalahkan apabila kasus pelanggaran berupa
pelecehan terhadap wanita ini sangat menyimpang dari norma yang ada dalam
masyarakat. Secara akal pun dapat dikatakan bahwa pelecehan terhadap wanita
merupakan hal yang tidak etis, terlebih lagi di lingkungan masyarakat Indonesia
yang sangat menjunjung tinggi kesopanan dan moral.
Kita
coba untuk melihat dari dua sisi, dari sisi konselor laki-laki telah dijelaskan
diatas bagaimana contoh kasus pelanggaran terhadap wanita. Sekarang, melihat
dari sisi konselor sebagai wanita. Dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan telah memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yaitu dalam
Pasal 86 ayat (1) yang isinya adalah setiap buruh mempunyai hak untuk
memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan
b. moral dan kesusilaan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Di
poin b sudah jelas bahwa konselor sebagai seorang pekerja harus mendapatkan
perlindungan dalam hal moral dan kesusilaan. Poin tersebut ditegaskan oleh poin
c dimana konselor sebagai seorang pekerja wanita harus mendapatkan perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai agama. Dengan
melihat UU tersebut, maka jelaslah dikatakan bahwa pelecehan wanita dalam
konseling yang dalam hal ini konselor sebagai seorang wanita, merupakan kasus
pelanggaran dalam proses konseling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar