Sabtu, 22 November 2014

Moralitas Bantuan Kode Etik



MAKALAH
MORALITAS BANTUAN KODE ETIK
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kode Etik Konseling

                       



  



JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013/2014


BAB I
PENDAHULUAN

1.  Latar Belakang Masalah
Moralitas bantuan merupakan bantuan yang mempunyai batasan-batasan sifat atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk dari konselor kepada klien dalam menyelesaikan suatu problema. Moralitas bantuan dapat diberikan oleh konselor dengan memperhatikan aspek keyakinan agama dalam konseling, temperamen dan karakter, dan keyakinan agama dalam struktur kepribadian. Apabila aspek tersebut tidak diperhatikan dengan baik maka proses konseling tidak akan berjalan dengan baik bahkan dapat menimbulkan kerugian.
Dalam keyakinan agama dalam konseling, konselor tidak boleh memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang konselor tidak mudah untuk memafaatkan berinteraksi dengan klien. Pada aspek temperamen dan karakter, konselor benar-benar harus mengetahui temperamen dan karakter klien karena temperamen dan karakter seseorang berbeda-beda sehingga dalam pemberian bantuanpun harus berdasarkan temperamen dan karakter masing-masing. Sedangkan dalam aspek keyakinan agama dalam struktur kepribadian, konselor harus mengetahui apakah klien sudah menggunakan struktur kepribadian tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

1.  Pengertian Moralitas Bantuan
Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar[1].
Perkembangan moral berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik.
Moralitas berarti ekspresi diri dalam konteks yang terstruktur. Bagaimanapun, hal yang perlu ditekankan di sini ialah bahwa tanpa ekspresi diri ini, tidak ada isi kehidupan moral. Dorongan rasa lapar dan seks yang bersifat instintif, hasrat marah, membenci dan mencintai, keinginan untuk berteman dan mencipta, serta semua dorongan lainnya melengkapi materi pengisi moralitas. Tanpa dorongan-dorongan ini maka  moralitas  tidak  berarti,  seperti  sebuah  sungai yang kering tanpa air mengalir. Konselor dalam memberikan pelayanan konseling kepada seseorang/sekelompok orang perlu  memberi  kebebasan  guna  menempuh  sebuah  jalan  hidup yang memungkinkan mereka  menjadi  pribadi  yang  utuh.  Pribadi  seperti  itu  akan  diperlukan  untuk  menghindari  tekanan  yang  berlebihan  pada  sukses  finansial,  yang  dapat  menimbulkan  persaingan  materi  dan  sikap  pamrih  belaka,  berdampak  hilangnya  nilai  manusiawi  pada suatu bidang studi, yang pada akhirnya akan mengaburkan nilai-nilai  dan tujuan konseling yang telah direncanakan. Moral  dan  etika  dalam  konseling  akan  dapat  diwujudkan  oleh  konselor  yang memiliki kompetensi.

2.  Bagian Moralitas Bantuan
Moralitas bantuan terbagi menjadi 3, sebagai berikut:
1.  Keyakinan Agama Dalam Konseling
Landasan religius bahwasannya seorang konselor harus mempunyai pemahaman agama, nilai-nilai agama yang kuat, agar dalam memberikan konseling pada kliennya harus didasarkan pada pemahaman agama yang dianutnya.
Pada dasarnya seorang konselor dalam memberikan bantuan dituntut dapat mengetahui nilai agama, namun konselor perlu menyadari bahwa peranannya tidak sama dengan petugas keagamaan yang berkewajiban memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang konselor tidak mudah untuk memafaatkan berinteraksi dengan klien.[2]
Patterson mengemukakan bahwa nilai-nilai konselor sebenarnya mempengaruhi proses konseling, hanya saja tercermin dalam etika hubungan, tujuan, dan metode yang digunakan dalam konseling. Jadi keseluruhan proses konseling itu pada prinsipnya, mencerminkan nilai dan keyakinan konselor (George & Cristiani, 1990).
Dengan demikian keterlibatan agama, nilai, dan keyakinan konselor dalam konseling dapat dibenarkan secara teoritik, tetapi dalam pelaksanaannya harus melihat etika profesional yang memberi tuntutan cara kerja konselor sekaligus melindungi hak-hak pribadi klien.[3]



2.  Temperamen Dan Karakter
Dalam bukunnya Diane E Papalia, dkk menyatakan bahwasannya Tempramen yaitu sebagai karakteristik seseorang cara biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan situasi.[4] Jadi bahwasanya karakter seseorang itu tidak semuanya bersifat negatif,  bahwasannya temprament itu dilakukan sesuai situasi.
   Selain itu temperamen terkadang didefinisikan sebagai karakteristik seseorang, cara mendasar biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan situasi. Telah dideskripsikan sebagai bagaimananya perilaku; bukan apa yang dilakukan, tapi bagaimana mereka akan melakukan hal tersebut (Thomas dan chess, 1977). Seperti contoh adanya dua anak balita yang sama-sama bisa melakukan pekerjaan memakai pakaian sendiri, namun biasanya salah satu dari mereka ada yang dapat melakukan hal tersebut dengan cepat dari yang yang lainnya. Beberapa peneliti memandang temperamen secara lebih luas. Seorang anak tidak sama dalm bertingkah laku di berbagai situasi. Temperamen bukan hanya mempengaruhi bagaimana pendekatan reaksi anak terhadap dunia luar, tetapi juga bagaimana mereka mengatur fungsi mental, emosional, dan perilaku mereka sendiri (Rothbart, Ahadi, dan Evans, 2000).
 Temperamen memiliki dimensi emosional tapi berbeda dengan emosi seperti rasa takut, tertarik, dan bosan, tempramen relatif konsisten dan menetap.[5] Temperamen terbagi 4 jenis, yaitu:
1.  Sanguinis
Ditandai dengan sifat: hangat, meluap-luap, lincah, bersemangat dan pribadi yang “menyenangkan.” Pada dasarnya mau menerima. Pengaruh/kejadian luar dengan gampang masuk ke pikiran dan perasaan, yang membangkitkan respons yang meledak-ledak. Perasaan lebih berperan dari pada pikiran refleksif dalam membentuk keputusan. Orang sanguinis sangat ramah kepada orang lain, sehingga dia biasanya dianggap seorang yang sangat ekstrovert.
2.  Koleris
Seorang choleris tampil hangat, serba cepat, aktif, praktis, berkemauan keras, sanggup mencukupi keperluannya sendiri, dan sangat independen. Dia cenderung tegas dan berpendirian keras, dengan gampang dapat membuat keputusan bagi dirinya dan bagi orang lain. Seperti seorang sanguinis, seorang choleris adalah seorang ekstrovert, walau tidak seekstrovertnya seorang sanguinis. Seorang choleris hidup dengan aktif. Dia tidak butuh digerakkan dari luar, malah mempengaruhi lingkungannya dengan gagasan-gagasannya, rencana, tujuan, dan ambisiambisinya yang tak pernah surut.
3.  Melankolis
Si melankolis adalah seorang yang paling “kaya” di antara semua temperamen. Dia seorang analisis, suka berkorban, bertipe perfeksionis dengan sifat emosi yang sangat sensitif. Tidak seorang pun yang dapat menikmati keindahan karya seni melebihi seorang melankolis. Sebenarnya dia mudah menjadi introvert, tetapi ketika perasaannya lebih dominan, dia masuk ke dalam bermacam-macam keadaan jiwa. Kadang-kadang mengangkatnya pada kegembiraan yang tinggi yang membuatnya bertindak lebih ekstrovert. Akan tetapi pada saat lain dia akan murung dan depressi, dan selama periode ini dia menarik diri (withdrawn), dan bisa menjadi seorang yang begitu antagonistis (bersifat bermusuhan).
4.  Phlegmatis
Si phlegmatis adalah seorang yang hidupnya tenang, gampangan, tak pernah merasa terganggu dengan suatu titik didih yang sedemikian tinggi sehingga dia hampir tak pernah marah. Dia adalah seorang dengan tipe yang mudah bergaul, dan paling menyenangkan di antara semua temperamen. Phlegmatis berkaitan dengan apa yang dipikirkan oleh Hippocrates mengenai cairan dalam badan yang menghasilkan yang “tenang,” “dingin”, “pelan”, temperamen yang memiliki keseimbangan yang baik. Baginya hidup adalah suatu kegembiraan, dan kadang menjauh dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Dia begitu tenang dan agak diam, sehingga tak pernah kelihatan terhasut, bagaimana pun keadaan sekitarnya.
Selanjutnya mengenai karakteristik, Prof. Dr. Muchlas Samani dalam bukunya menjelaskan bahwa karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara[6]. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, prasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Warsono dkk. (2010) mengutip Jack Corley dan Thomas Philip (2000): menyatakan “karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan mempermudah tindakan moral”.

3.  Keyakinan Agama Dalam Struktur Kepribadian
Dinyatakan bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi jasmani dan dimensi rohani. Kedua dimensi yang dimiliki manusia mendapatkan perhatian yang sama. Segi jasmani memiliki tuntutan-tuntutan sendiri yang perlu dipenuhi. Demikian halnya dengan dimensi rohani juga memiliki tuntutan tersendiri yang juga harus dipenuhi agar manusia dapat hidup dengan baik dan selamat di dunia dan akhiratnya[7].
Pada hal tersebut bahwasannya kepribadian seseorang membutuhkan suatu keyakinan dalam beragama. Oleh sebab itu, seorang konselor mengarahkan kliennya yang sedang mengalami masalah agar mereka kembali pada sang penciptanya, agar mereka tidak terjerumus pada hal yang tidak diinginkan. Namun konselor perlu menyadari bahwasannya peranannya tidak sama dengan petugas keagamaan yang berkewajiban memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamaannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang konselor tidak mudah untuk memanfaatkan berinteraksi dengan klien.
Menurut Sigmund Freud bahwa sistem kepribadian dibagi menjadi tiga yaitu:
Sistem kerja struktur kepribadian adalah: Pertama, Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia itu dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya insting. Id tidak memiliki organisasi, buta, dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Seperti yang ditegaskan oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan proses primer. Kedua, Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya. Di sini ego berperan sebagai “eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga prosesnya persis seperti “polisi lalu lintas” yang selalu mengontrol jalannya id, superego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai penengah antara insting dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja ego. Sedangkan yang Ketiga, superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.[8]


























BAB III
PENUTUP

1.  Kesimpulan
Moralitas bantuan merupakan bantuan yang mempunyai batasan-batasan sifat atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk dari konselor kepada klien dalam menyelesaikan suatu problema. Moralitas bantuan terbagi menjadi 3 bagian yaitu keyakinan agama dalam konseling maksudnya keyakinan agama yang dimiliki oleh klien, konselor tidak boleh mengubah ataupun memberi keyakinan yang dimiliki konselor; temperamen yaitu sebagai karakteristik seseorang cara biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan situasi dan karakter maksudnya gejala karakteristik daripada sifat emosi individu yang  faktornya berasal dari keturunan ataupun sebagai cara berfikir dan berprilaku yang khas setiap individu untuk hidup dan berkerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Didalam temperamen manusia atau sifat emosi individu dapat dibagi menjadi 4 yaitu sanguinis, koleris, melankolis, phlegmatis; keyakinan agama dalam struktur kepribadian yang terbagi menjadi 3 yaitu id adalah keinginan atau dorongan naluriah yang sudah ada sejak lahir dan tempat timbulnya insting; ego adalah yang mengendalikan, mengontrol atau menjalankan id. Ia bertindak sebagai penengah antara insting dengan dunia di sekelilingnya atau dunia nyata; super ego adalah suatu sistem yang memiliki unsur moral dan keadilan. Tujuan dari super ego adalah membawa individu kearah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan keadilan dan moral, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya.





DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin. 2012. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers.

Latipun. 2003. Psikologi Konseling (Edisi Ketiga). Malang: UMM Press.

Panuju, Panut dan Ida Umami. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Papalia, Diane E dkk. 2008. Human Development. Jakarta: Kencana.

Prawira, Purwa Atmaja. 2013.  Psikologi Kepribadian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Samani, Muchlas. 2013. Pendidikan Karakter. bandung: PT. Remaja Rosdakarya


[1] Panut Panuju dan Ida Umami, Psikologi Remaja, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1999), hlm. 139.
[2]  Latipun, Psikologi Konseling (Edisi Ketiga), (Malang: UMM Press, 2003), hlm, 158-160.
[3] Ibid.

[4] Diane E Papalia dkk, Human Development,(Kencana: Jakarta, 2008), hal. 268.
[5] Ibid. hlm. 268-269.
[6] Prof. Dr. Muchlas Samani, Pendidikan Karakter , (PT. Remaja Rosdakarya : Bandung, 2013), hlm.41
[7] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Kepribadian, (Ar-Ruzz Media: Yogyakarta, 2013), hlm 327
[8] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Rajawali Pers : Jakarta, 2012), hal. 213.


Kamis, 23 Oktober 2014

Perkembangan Konseling di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah

        Konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupan manusia. Manusia sering mengatasi persoalan-persoalan yang silih berganti dalam kehidupannya. Persoalan yang satu dapat teratasi dan akan timbul persoalan yang lain. Maka dari itu, berdasarkan kenyataan yang dihadapi manusia tidaklah sama, ada yang sanggup mengatasi permasalahannya sendiri dan ada pula yang perlu bantuan orang lain dalam menyelesaikan masalahnya dan di sinilah peran konseling untuk manusia.
Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh ahli kepada seseorang yang disebut klien secara sistematis dan terencana untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan klien agar klien dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dan dapat membuat suatu keputusan.
Di Indonesia, pengetahuan tentang konseling sangat minim sehingga membuat pengetahuan masyarakat di Indonesia seakan-akan buta tentang konseling tersebut. Padahal kegiatan konseling amat membantu masyarakat yang mempunyai permasalahan. Terutama dalam mengetahui sejarah perkembangan konseling di Indonesia, banyak konselor yang belum mengetahui bagaimana perkembangan konseling di Indonesia. Apabila seseorang yang melakukan konseling tidak mengetahui sejarah perkembangan konseling itu sendiri maka akan sulit baginya untuk melakukan konseling itu karena sejarah tersebut dapat dijadikan referensi atau tolak ukur.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan konseling di Indonesia ?
2.      Apa faktor pendukung perkembangan konseling di Indonesia ?


C.      Tujuan
1.      Mendeskripsikan bagaimana perkembangan konseling di Indonesia.
2.      Mendeskripsikan faktor pendukung perkembangan konseling di Indonesia.



























BAB II
PEMBAHASAN

1.        Perkembangan Konseling di Indonesia
Latar  belakang kehadiran konseling yaitu sebagai bentuk penanganan terhadap orang-orang yang mengalami gangguan psikologis, dimulai sejak tahun 1986 yang dipelopori oleh Lightner Witmer dengan mendirikan sebuah klinik psychological counseling clinic di University of Pennsylvania (latipun 2001)[1].

Sebelum konseling muncul di Indonesia bahwasannya para masyarakat telah mengetahui berbagai sarana untuk memecahkan masalah mereka, namun mereka menggunakan cara yang tradisional. Secara umum proses pemecahan masalah mereka masih dilakukan dengan meminta bantuan para kyai, tokoh agama ataupun dukun. Namun perlahan-lahan pola pikir masyarakat Indonesia berubah ketika konseling masuk ke Indonesia, walaupun tidak semua masyarakat Indonesia menyelesaikan masalah dengan menggunakan konseling. Berawal dari yang dikemukakan Frank Parsons yang mendirikan Vocational Bureau, tetap berjalan di Indonesia. Sebagai contoh, di Yogyakarta terdapat Balai Pembinaan Administrasi (BPA) yang salah satu tugasnya memberikan  Job-Training kepada; para pegawai untuk meningkatkan efisiensi kerja.

Kegiatan bimbingan dan konseling tersebut tersebar di Indonesia sekitar tahun 50-an, kegiatan itu pertama kali diperkenalkan oleh Slamet Iman Santoso di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.[2] Setelah itu pada tahun 1960 konseling diperkenalkan di Indonesia melalui pendidikan sekolah menengah, perkembangan selanjutnya mengarah ke pusat rehabilitasi sosial, lembaga sosial dan industri.[3] Di Indonesia pekerjaan konseling menunjukkan kemajuannya. Bimbingan dan konseling sebagai suatu ilmu merupakan suatu hal yang masih baru, apalagi dilihat dari konteks Indonesia, namun dengan demikian sebenarnya warga Indonesia membutuhkan bimbingan dan konseling tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, adanya konversi FKIP seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Malang dari tanggal 20 sampai dengan 24 Agustus 1960, yang memutuskan bahwa bimbingan dan penyuluhan dimasukkan dalam kurikulum FKIP.[4] Dengan ini menunjukkan bahwa adanya langkah yang lebih maju untuk mengembangkan Bimbingan dan Penyuluhan di lingkungan sekolah, hal tersebut dapat menambah kemajuan bimbingan dan konseling di sekolah.
Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1994 dan didirikannya beberapa kementrian pada waktu itu, hal ini menunjukkan adanya usaha untuk menempatkan orang-orang yang ingin bekerja, pada prinsipnya sama seperti Vocational Bureu yang didirikan oleh Frank Parsons, yakni menempatkan orang pada suatu pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.[5]

             Di awali dari dimasukkannya bimbingan dan konseling (dulunya bimbingan dan penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960.
Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 berdiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Manado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan” pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas di dalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.
Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.

2.        Faktor Pendukung Perkembangan Konseling di Indonesia
Faktor-faktor pendorong perkembangan konseling sekolah secara umum di Indonesia, sehingga maju cukup pesat:
1.    Pada diri individu, yaitu adanya masa-masa kritis dalam tiap masa perkembangan individu, terutama dalam masa remaja.
2.    Pada kondisi luar individu, seperti kondisi teknologi yang berkembang pesat, kondisi nilai-nilai demokratis, nilai-nilai humanities ersus nilai-nilai pragmatis khusus sosial- komunikasi), nilai-nilai etika pergaulan, kondisi struktural dan kebidangan dalam pendidikan dan lapangan kerja, dan kondisi-kondisi lain, antara lain: termasuk di antaranya proses transmigrasi dan urbanisasi, kehidupan masyarakat massa yang telah menjauhkan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antarmanusia dalam arti psikis dan fisik.[6]

Faktor-faktor pendukung lainnya khusus konseling di sekolah, adanya kebutuhan nyata dan kebutuhan potensial para siswa pada beberapa jenjang pendidikan yaitu:
1.    Dalam menghadapi saat-saat krisis yang dapat terjadi misalnya akibat kegagalan sekolah, kegagalan pergaulan, dan penyalahgunaan obat bius, oleh karena itu adanya tipe konseling krisis.
2.    Dalam menghadapi kesulitan dan kemungkinan kesulitan pemahaman diri dan lingkungan untuk arah diri dan dalam pengambilan keputusan dalam karir, akademik, sehingga diperlukan adanya tipe konseling fasilitatif.
3.    Dalam mencegah sedapat mungkin kesulitan yang dapat dihadapi dalam pergaulan sosial, atau seksual, diperlukan adanya tipe konseling preventif.
4.    Dalam menopang kelancaran perkembangan individual siswa seperti perkembangan kemandirian, percaya diri, citra diri, perkembangan karir dan perkembangan akademik, diperlukan adanya tipe konseling developmental.[7]




















BAB III
PENUTUP

1.        Kesimpulan
Setelah penulis mendeskripsikan tentang rumusan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwasanya konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh ahli kepada seseorang yang disebut klien secara sistematis dan terencana untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan klien agar klien dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dan dapat membuat suatu keputusan.
Konseling sendiri berkembang di negara Indonesia pada tahun 50-an, kegiatan tersebut pertama kali dibawa oleh Slamet Iman Santoso dari Universitas Indonesia. Pada dasarnya konseling di Indonesia berkembang di kalangan sekolah menengah pada tahun 60-an, lalu selanjutnya berkembang ke kalangan rehabilitasi sosial, lembaga sosial dan industri. Saat ini bimbingan dan konseling masih dikenal baru, namun kegiatan tersebut akan terus berkembang karena masyarakat di Indonesia membutuhkannya.
Di Indonesia konseling cukup berkembang pesat, faktor-faktor yang mendukung perkembangan konseling di Indonesia itu sendiri yaitu pada diri individu dan pada kondisi luar individu.

2.        Saran
Kepada konselor diharapkan mengetahui tentang sejarah perkembangan konseling di Indonesia karena untuk referensi dalam menjalankan kegiatan konseling.


[1] Dr, Namora Lumongga Lubis, M,Sc., Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktek, (Jakarta, Kencana 2011), hlm 3.
[2] Farid Mashudi, Psikologi Konseling, (yogjakarta, IRCiSoD, 2013), hlm 25.
[3] Dr, Namora Lumongga Lubis, M,sc., op. cit, hlm 8.
[4] Afifuddin, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm 30
[5] Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah, (Yogyakarta, Andi Offset, 1993), hlm 11.
[6] Andi Mappiare AT, Pengantar Konseling Dan Psikoterapi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm 10.
[7] Andi Mappiare AT, Pengantar Konseling dan Psikoterapi,  (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm 11.