MAKALAH
MORALITAS
BANTUAN KODE ETIK
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah
Kode Etik Konseling
Kode Etik Konseling
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Moralitas bantuan merupakan bantuan yang mempunyai
batasan-batasan sifat atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk dari
konselor kepada klien dalam menyelesaikan suatu problema. Moralitas bantuan
dapat diberikan oleh konselor dengan memperhatikan aspek keyakinan agama dalam
konseling, temperamen dan karakter, dan keyakinan agama dalam struktur
kepribadian. Apabila aspek tersebut tidak diperhatikan dengan baik maka proses
konseling tidak akan berjalan dengan baik bahkan dapat menimbulkan kerugian.
Dalam keyakinan agama dalam konseling, konselor tidak
boleh memberikan keyakinan dan
nilai-nilai keagamannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Karena
itu seorang konselor tidak mudah untuk memafaatkan berinteraksi dengan klien.
Pada aspek temperamen dan karakter, konselor benar-benar harus mengetahui
temperamen dan karakter klien karena temperamen dan karakter seseorang
berbeda-beda sehingga dalam pemberian bantuanpun harus berdasarkan temperamen
dan karakter masing-masing. Sedangkan dalam aspek keyakinan agama dalam struktur
kepribadian, konselor harus mengetahui apakah klien sudah menggunakan struktur
kepribadian tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Moralitas Bantuan
Istilah
moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan,
adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang
umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar[1].
Perkembangan moral berhubungan
dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan
seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan
tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap
untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang
lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami
tentang perilaku mana yang baik.
Moralitas berarti ekspresi diri dalam konteks
yang terstruktur. Bagaimanapun, hal yang perlu ditekankan di sini ialah bahwa tanpa ekspresi diri
ini, tidak ada isi kehidupan moral. Dorongan rasa lapar dan seks yang bersifat
instintif, hasrat marah, membenci dan mencintai, keinginan untuk berteman dan
mencipta, serta semua dorongan
lainnya melengkapi materi pengisi moralitas. Tanpa dorongan-dorongan ini
maka moralitas tidak
berarti, seperti sebuah
sungai yang kering
tanpa air mengalir. Konselor dalam memberikan pelayanan konseling kepada
seseorang/sekelompok orang perlu memberi kebebasan
guna menempuh sebuah
jalan hidup yang memungkinkan
mereka menjadi pribadi
yang utuh. Pribadi
seperti itu akan
diperlukan untuk menghindari
tekanan yang berlebihan
pada sukses finansial,
yang dapat menimbulkan
persaingan materi dan
sikap pamrih belaka,
berdampak hilangnya nilai
manusiawi pada suatu bidang studi,
yang pada akhirnya akan mengaburkan nilai-nilai
dan tujuan konseling yang telah direncanakan. Moral dan
etika dalam konseling
akan dapat diwujudkan
oleh konselor yang memiliki kompetensi.
2. Bagian
Moralitas Bantuan
Moralitas
bantuan terbagi menjadi 3, sebagai berikut:
1. Keyakinan Agama
Dalam Konseling
Landasan religius
bahwasannya seorang konselor harus mempunyai pemahaman agama, nilai-nilai agama
yang kuat, agar dalam memberikan konseling pada kliennya harus didasarkan pada
pemahaman agama yang dianutnya.
Pada dasarnya
seorang konselor dalam memberikan bantuan dituntut dapat mengetahui nilai
agama, namun konselor perlu menyadari bahwa peranannya tidak sama dengan
petugas keagamaan yang berkewajiban memberikan keyakinan dan nilai-nilai
keagamannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang
konselor tidak mudah untuk memafaatkan berinteraksi dengan klien.[2]
Patterson
mengemukakan bahwa nilai-nilai konselor sebenarnya mempengaruhi proses
konseling, hanya saja tercermin dalam etika hubungan, tujuan, dan metode yang
digunakan dalam konseling. Jadi keseluruhan proses konseling itu pada
prinsipnya, mencerminkan nilai dan keyakinan konselor (George & Cristiani,
1990).
Dengan demikian
keterlibatan agama, nilai, dan keyakinan konselor dalam konseling dapat
dibenarkan secara teoritik, tetapi dalam pelaksanaannya harus melihat etika
profesional yang memberi tuntutan cara kerja konselor sekaligus melindungi
hak-hak pribadi klien.[3]
2. Temperamen Dan
Karakter
Dalam bukunnya Diane
E Papalia, dkk menyatakan bahwasannya Tempramen yaitu sebagai karakteristik seseorang cara
biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan situasi.[4]
Jadi bahwasanya karakter seseorang itu tidak semuanya bersifat negatif, bahwasannya temprament itu dilakukan sesuai
situasi.
Selain itu temperamen terkadang didefinisikan
sebagai karakteristik seseorang, cara mendasar biologis untuk mendekati dan
bereaksi terhadap orang dan situasi. Telah dideskripsikan sebagai bagaimananya
perilaku; bukan apa yang dilakukan, tapi bagaimana mereka akan melakukan hal
tersebut (Thomas dan chess, 1977). Seperti contoh adanya dua anak balita yang
sama-sama bisa melakukan pekerjaan memakai pakaian sendiri, namun biasanya
salah satu dari mereka ada yang dapat melakukan hal tersebut dengan cepat dari
yang yang lainnya. Beberapa peneliti memandang temperamen secara lebih luas.
Seorang anak tidak sama dalm bertingkah laku di berbagai situasi. Temperamen
bukan hanya mempengaruhi bagaimana pendekatan reaksi anak terhadap dunia luar,
tetapi juga bagaimana mereka mengatur fungsi mental, emosional, dan perilaku
mereka sendiri (Rothbart, Ahadi, dan Evans, 2000).
Temperamen memiliki dimensi
emosional tapi berbeda dengan emosi seperti rasa takut, tertarik, dan bosan, tempramen
relatif konsisten dan menetap.[5] Temperamen terbagi 4
jenis, yaitu:
1. Sanguinis
Ditandai dengan sifat: hangat, meluap-luap, lincah, bersemangat dan pribadi
yang “menyenangkan.” Pada dasarnya mau menerima. Pengaruh/kejadian luar dengan
gampang masuk ke pikiran dan perasaan, yang membangkitkan respons yang
meledak-ledak. Perasaan lebih berperan dari pada pikiran refleksif dalam
membentuk keputusan. Orang sanguinis sangat ramah kepada orang lain, sehingga
dia biasanya dianggap seorang yang sangat ekstrovert.
2. Koleris
Seorang choleris tampil hangat, serba cepat, aktif, praktis,
berkemauan keras, sanggup mencukupi keperluannya sendiri, dan sangat
independen. Dia cenderung tegas dan berpendirian keras, dengan gampang
dapat membuat keputusan bagi dirinya dan bagi orang lain. Seperti
seorang sanguinis, seorang choleris adalah seorang ekstrovert,
walau tidak seekstrovertnya seorang sanguinis. Seorang choleris hidup
dengan aktif. Dia tidak butuh digerakkan dari luar, malah
mempengaruhi lingkungannya dengan gagasan-gagasannya, rencana, tujuan, dan
ambisiambisinya yang tak pernah surut.
3. Melankolis
Si melankolis adalah seorang yang paling “kaya” di antara semua
temperamen. Dia seorang analisis, suka berkorban, bertipe perfeksionis
dengan sifat emosi yang sangat sensitif. Tidak seorang pun yang dapat
menikmati keindahan karya seni melebihi seorang melankolis. Sebenarnya dia
mudah menjadi introvert, tetapi ketika perasaannya lebih
dominan, dia masuk ke dalam bermacam-macam keadaan jiwa. Kadang-kadang mengangkatnya pada kegembiraan
yang tinggi yang membuatnya bertindak lebih ekstrovert. Akan tetapi
pada saat lain dia akan murung dan depressi, dan selama periode ini
dia menarik diri (withdrawn), dan bisa menjadi seorang yang
begitu antagonistis (bersifat bermusuhan).
4. Phlegmatis
Si phlegmatis adalah seorang yang hidupnya
tenang, gampangan, tak pernah merasa terganggu dengan suatu titik didih yang
sedemikian tinggi sehingga dia hampir tak pernah marah. Dia adalah seorang
dengan tipe yang mudah bergaul, dan paling menyenangkan di antara semua
temperamen. Phlegmatis berkaitan dengan apa yang dipikirkan oleh Hippocrates
mengenai cairan dalam badan yang menghasilkan yang “tenang,” “dingin”, “pelan”,
temperamen yang memiliki keseimbangan yang baik. Baginya hidup adalah suatu
kegembiraan, dan kadang menjauh dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Dia
begitu tenang dan agak diam, sehingga tak pernah kelihatan terhasut, bagaimana
pun keadaan sekitarnya.
Selanjutnya mengenai karakteristik, Prof. Dr. Muchlas Samani dalam bukunya
menjelaskan bahwa karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang
khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara[6]. Individu
yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap
mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat
dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa,
diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, prasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah
perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari hari baik dalam bersikap
maupun dalam bertindak. Warsono dkk. (2010) mengutip Jack
Corley dan Thomas Philip (2000): menyatakan “karakter merupakan sikap dan
kebiasaan seseorang yang memungkinkan mempermudah tindakan moral”.
3. Keyakinan Agama
Dalam Struktur Kepribadian
Dinyatakan bahwa manusia merupakan
makhluk Allah yang terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi jasmani dan dimensi
rohani. Kedua dimensi yang dimiliki manusia mendapatkan perhatian
yang sama. Segi jasmani memiliki tuntutan-tuntutan sendiri yang perlu dipenuhi.
Demikian
halnya dengan dimensi rohani juga memiliki tuntutan tersendiri yang juga harus dipenuhi
agar manusia dapat hidup dengan baik dan selamat di dunia dan akhiratnya[7].
Pada hal tersebut bahwasannya kepribadian seseorang membutuhkan suatu
keyakinan dalam beragama. Oleh sebab itu, seorang konselor mengarahkan kliennya
yang sedang mengalami masalah agar mereka kembali pada sang penciptanya, agar
mereka tidak terjerumus pada hal yang tidak diinginkan. Namun konselor perlu menyadari bahwasannya peranannya tidak
sama dengan petugas keagamaan yang berkewajiban memberikan keyakinan dan
nilai-nilai keagamaannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya.
Karena itu seorang konselor tidak mudah untuk memanfaatkan berinteraksi dengan
klien.
Menurut Sigmund
Freud bahwa sistem kepribadian dibagi menjadi tiga yaitu:
Sistem kerja struktur kepribadian adalah: Pertama, Id
merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia itu
dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari
energi psikis dan tempat timbulnya insting. Id tidak memiliki organisasi, buta,
dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Seperti yang
ditegaskan oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip
kenikmatan dan proses primer. Kedua, Ego mengadakan kontak dengan
dunia realitas yang ada di luar dirinya. Di sini ego berperan sebagai
“eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga
prosesnya persis seperti “polisi lalu lintas” yang
selalu mengontrol jalannya id, superego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai
penengah antara insting dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul
disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar
butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan
mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja ego. Sedangkan yang Ketiga,
superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem
kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya.
Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan
norma-norma moral masyarakat.[8]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Moralitas bantuan merupakan bantuan yang mempunyai
batasan-batasan sifat atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk dari
konselor kepada klien dalam menyelesaikan suatu problema. Moralitas bantuan
terbagi menjadi 3 bagian yaitu keyakinan agama dalam konseling maksudnya
keyakinan agama yang dimiliki oleh klien, konselor tidak boleh mengubah ataupun
memberi keyakinan yang dimiliki konselor; temperamen yaitu sebagai karakteristik seseorang cara
biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan situasi dan karakter
maksudnya gejala
karakteristik daripada sifat emosi individu yang faktornya berasal dari keturunan ataupun sebagai cara berfikir dan berprilaku yang khas
setiap individu untuk hidup dan berkerjasama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Didalam temperamen manusia atau sifat emosi individu dapat dibagi menjadi 4 yaitu sanguinis, koleris, melankolis, phlegmatis; keyakinan agama dalam struktur kepribadian yang terbagi menjadi 3 yaitu
id adalah keinginan atau dorongan naluriah yang sudah ada sejak lahir dan
tempat timbulnya insting; ego adalah yang mengendalikan, mengontrol atau
menjalankan id. Ia bertindak sebagai penengah antara insting dengan
dunia di sekelilingnya atau dunia nyata; super ego adalah
suatu sistem yang memiliki unsur moral dan keadilan.
Tujuan dari super ego adalah membawa individu kearah kesempurnaan sesuai dengan
pertimbangan keadilan dan moral, sehingga tahu benar-salah,
baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin. 2012. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali
Pers.
Latipun. 2003. Psikologi Konseling
(Edisi Ketiga). Malang: UMM Press.
Panuju, Panut
dan Ida Umami. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Papalia, Diane E dkk. 2008. Human
Development. Jakarta: Kencana.
Prawira, Purwa Atmaja. 2013. Psikologi
Kepribadian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media